JAKARTA — Ekonom memproyeksikan neraca perdagangan barang Indonesia pada Oktober 2024 akan mencatatkan surplus sebesar US$2,74 miliar, meskipun lebih rendah dibandingkan surplus pada September yang mencapai US$3,26 miliar. Surplus ini diperkirakan lebih banyak dipengaruhi oleh penurunan impor, bukan karena lonjakan ekspor. Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede mengatakan meskipun ada penurunan surplus, ekspor dan impor Indonesia diperkirakan tetap mencatatkan pertumbuhan tahunan (year on year/YoY).
"Walaupun ada pelambatan, pertumbuhan impor diperkirakan masih akan lebih tinggi dibandingkan dengan ekspor, yang menunjukkan bahwa permintaan domestik Indonesia relatif lebih kuat dibandingkan permintaan eksternal," ujar Josua, yang dikutip pada Jumat (15/11/2024).
Sejalan dengan pelambatan ekonomi global, proyeksi pertumbuhan impor Indonesia diperkirakan melambat menjadi 7,26% YoY pada Oktober 2024, dibandingkan dengan 8,55% pada bulan sebelumnya. Pertumbuhan impor yang lebih rendah ini terjadi meskipun permintaan domestik tetap kuat, tetapi ada penurunan dalam permintaan dari pasar global yang tercermin dari penurunan ekspor Indonesia.
Josua juga mencatat bahwa berdasarkan data ekspor impor China, ekspor dari Negeri Tirai Bambu ke Indonesia mengalami lonjakan tajam pada Oktober 2024, dengan angka pertumbuhan tahunan mencapai 28,14% YoY, meningkat signifikan dibandingkan 12,52% pada September 2024. Sebagian besar impor dari China terdiri dari bahan baku dan barang modal, yang menunjukkan bahwa permintaan untuk komoditas ini masih cukup tinggi meskipun ada pelambatan pada sektor lain.
Sementara itu, Josua memperkirakan pertumbuhan ekspor Indonesia akan mengalami pelambatan pada Oktober 2024 menjadi 2,80% YoY, turun signifikan dibandingkan dengan 6,44% pada September. Perlambatan ini banyak disebabkan oleh melemahnya permintaan global, terutama dari China, yang merupakan pasar ekspor utama Indonesia. Selain itu, normalisasi harga komoditas juga berperan dalam memperlambat laju ekspor Indonesia.
China, yang merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia, menunjukkan tren pertumbuhan yang lebih lambat, dengan impor mereka dari Indonesia mengalami kontraksi sebesar -5,50% YoY pada Oktober, penurunan tajam dibandingkan dengan pertumbuhan 7,88% pada bulan sebelumnya. Kontraksi ini mencerminkan penurunan permintaan dari negara tersebut yang berimbas pada penurunan ekspor Indonesia ke China.
Melihat tren ini, Josua mempertahankan prospek defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) Indonesia untuk tahun 2024, dengan estimasi pelebaran moderat menjadi 0,78% dari Produk Domestik Bruto (PDB), dibandingkan dengan 0,16% pada 2023. Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan yang masih berlangsung antara ekspor dan impor Indonesia.
Sementara itu, konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg dari 18 ekonom memperkirakan bahwa Indonesia masih akan mencatatkan surplus neraca perdagangan meski lebih rendah dari September, dengan nilai tengah (median) surplus diperkirakan mencapai US$3,09 miliar. Estimasi tertinggi datang dari ekonom JP Morgan Chase Bank NA, Sin Beng Ong, yang memprediksi surplus mencapai US$3,6 miliar, sedangkan estimasi terendah dikeluarkan oleh Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual, yang memperkirakan surplus hanya sebesar US$2,16 miliar.
Badan Pusat Statistik (BPS) diperkirakan akan mengumumkan realisasi ekspor, impor, dan neraca perdagangan Indonesia untuk Oktober 2024 pada Jumat, 15 November 2024, pukul 09.00 WIB. Pengumuman ini akan memberikan gambaran lebih jelas tentang keadaan ekonomi Indonesia, khususnya terkait dengan perdagangan internasional dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi domestik.
Melihat perkembangan ini, banyak pihak yang berharap agar kebijakan perdagangan dan langkah-langkah pemerintah dapat mendukung kestabilan neraca perdagangan, mendorong peningkatan ekspor, serta mengurangi ketergantungan pada impor, sehingga dapat memperbaiki defisit transaksi berjalan yang diproyeksikan.