Kabinet Indonesia Maju di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) barangkali harus mengevaluasi keseluruhan kebijakan logistik di tanah air. Sebab bisa jadi, banyak investor lari, karena ternyata ongkos produksi di Indonesia mahal.
Kinerja logistik Indonesia yang tercermin dari Logistics Performance Index (LPI) terus melorot. Melansir data World Bank, peringkat LPI terjun dari peringkat 45 pada 2018 menjadi peringkat ke 61, dengan skor keseluruhan 3 dari 5.
Sistem logistik Indonesia masih tertinggal dari negara tetangga di Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Dari data World Bank, skor infrastruktur tertinggi dicapai oleh Singapura dengan skor 4,6, Malaysia 3,6 dengan peringkat ke-31, Thailand 3,5 dengan peringkat ke-37, dan Vietnam dengan skor 3,3 dengan peringkat ke-43.
Dilihat dari biaya logistik pengiriman barang pun, Indonesia termasuk yang paling mahal dibandingkan negara-negara kawasan Asia Tenggara. Kisaran biaya logistik Indonesia mencapai 22% dari PDB, Singapura 8 %, Malaysia 13%, Thailand 15%, dan Vietnam 20%.
Melihat data tersebut, maka jangan heran jika investor besar seperti Tesla harus berpikir ulang sebelum berinvestasi di Indonesia. Begitu juga pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur yang sampai saat ini juga belum mendapatkan investor.
Jokowi pun memutuskan untuk membentuk Tim Percepatan Investasi di Ibu Kota Nusantara Kalimantan Timur, di mana Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan ditunjuk sebagai ketuanya.
Pemerintah berkeyakinan, anjloknya kinerja logistik di Indonesia dipengaruhi oleh disrupsi rantai pasok yang terjadi selama pandemi dan pasca Covid-19 yang menyebabkan proses pengiriman di pelabuhan menjadi tidak efisien.
"Faktor lainnya ialah tensi geopolitik global yang sempat tinggi membuat transaksi perdagangan internasional menjadi terhambat," ujar Plt. Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Ferry Irawan kepada CNBC Indonesia, Jumat (19/5/2023).
Penurunan kinerja logistik di Indonesia ini, kata Ferry tentu akan mengganggu jalannya aktivitas perdagangan dan rantai pasokan atau supply chain. Investor bahkan mungkin akan berpikir masak-masak sebelum berinvestasi di Indonesia melihat kinerja logistik yang anjlok.
"Sebab, biasanya investor akan mempertimbangkan kondisi logistik suatu negara sebelum menentukan investasi," kata Ferry lagi.
Ekonom Senior Faisal Basri mengungkapkan biaya pembangunan infrastruktur di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) lebih mahal ketimbang tol yang dibangun di era pemerintahan sebelumnya. Alhasil, dia menilai banyak proyek yang mubazir.
Ekonomi Indonesia bahkan, kata Faisal sudah bocor 40% karena infrastruktur yang telah menghabiskan dana hingga Rp 3.309 triliun di masa kepemimpinan Jokowi tidak efisien.
"Kalau zaman Pak Harto bocorannya 30%, Pak Jokowi sendiri yang menyadari kalau zaman saya kebocorannya 40%," ujar Faisal dalam dialog CORE Indonesia, dikutip Jumat (19/5/2023).
"Sumbernya Luhut Binsar Pandjaitan...'oh, kalau Pak Jokowi kemarin bilang ke saya 40%'. Jadi Jokowi sadar. Ngeri karena mengalir kemana-mana," kata Faisal lagi.
Jadi, mau bersusah payah apapun, jika akar permasalahan logistik di Indonesia ini tidak terselesaikan sampai akar, akan sulit bagi pemerintah mendatangkan investor ke tanah air.
Patut dicatat, proyek infrastruktur Jokowi memang dinilai kurang efisien seperti tercermin dari Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Semakin besar nilai koefisien ICOR, semakin tidak efisien perekonomian pada periode waktu tertentu.
Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan ICOR di era Jokowi meningkat dari sekitar 5% pada 2014 menjadi 8,16% pada 2022.
Ini artinya untuk memproduksi satu unit output dibutuhkan 8,16% modal output. Sayangnya dengan infrastruktur bejibun tersebut tidak dibarengi hasil yang positif. Buktinya, Logistics Performance Index (LPI) Indonesia pada 2023 anjlok.
Dikutip dari : CNBC Indonesia