Kinerja ekspor produk mebel sudah mengalami kontraksi sejak 2022 dan para pelaku usaha meminta pemerintah memberikan stimulus untuk mendorong pertumbuhan kinerja industri mebel.
Seperti yang diketahui bahwa kinerja industri mebel terpuruk sejak beberapa tahun terakhir ini dikarenakan permintaan ekspor yang kian melemah. Pengusaha furnitur dan kerajinan pun meminta agar pemerintah bisa memberikan stimulus yang memadai.
Hal tersebut disampaikan oleh Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) yang mencatat bahwa kinerja ekspor produk mebel mengalami kontraksi bahkan sejak 2022. Nilai ekspor produk mebel pada tahun 2022 sebesar US$2,81 miliar, turun 2,59% dibandingkan dengan tahun 2021 sebesar US$2,88 miliar.
Indrawan selaku Deputy of General Secretary Asmindo mengatakan bahwa tantangan geopolitik global yang memanas dan turunnya permintaan pasar adalah penyebab melemahnya kinerja ekspor. Hal tersebut dapat terlihat dari data ekspor hingga Juni 2023 yang masih di angka US$1,29 miliar.
‘’Permintaan pasar tradisional belum pulih, seperti USA dan Eropa, maka sampai dengan akhir tahun 2023 diprediksi kembali mengalami penurunan, walaupun nilainya masih dibawah 10%,’’ ujar Indrawan, Rabu (22/11/2023).
Selain itu, Asmindo melihat adanya tantangan lain yang masih harus dihadapi industri mebel yaitu ketersediaan rantai pasok bahan baku, inovasi, dan kreasi sebagai kunci selera pasar, hingga persoalan minimnya kompetensi sumber daya manusia dan teknologi yang memadai.
Meskipun begitu, Indrawan mengatakan tenaga kerja langsung yang telah diserap industri mebel sepanjang tahun 2023 ini sudah mencapai 500.000 orang. Kemudian untuk tenaga kerja tidak langsung sudah mencapai 2 juta orang.
Hal tersebut sejalan dengan realisasi investasi industri kayu yang dilaporkan mencapai hampir Rp2 triliun pada periode Januari-September 2023. Jumlah tersebut mencakup penanaman modal dalam negeri (PMDN) senilai Rp2,4 miliar dan penanaman modal asing (PMA) senilai US$125,5 juta atau sekitar Rp1,9 triliun.
Asmindo meminta pemerintah untuk membantu mendorong pertumbuhan industri mebel dalam bentuk optimalisasi pengadaan mebel pemerintah pusat dan daerah, serta BUMN dengan menggunakan produk mebel dalam negeri.
‘’Sehingga menggairahkan pasar domestik yang juga punya potensi yang sangat besar,’’ tutur Indrawan.
Ia menilai hal tersebut sejalan dengan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang akan membuka potensi baru sehingga diproyeksikan industri mebel Indonesia sendiri akan terus meningkat dari segi permintaan domestik seiring dengan kebutuhan akan pembangunan berbagai macam infrastruktur seperti hotel, perkantoran, apartemen, restoran, perumahan, dan lainnya.
Sementara itu, Asmindo saat ini juga tengah menargetkan sejumlah pasar ekspor non-tradisional seperti Arab Saudi, Uni Emirates Arab, Korea Selatan, Australia, dan intra ASEAN serta beberapa negara di kawasan Afrika seperti Ethiopia, Nigeria, dan lainnya.
Ada juga tantangan lain yang dihadapi para pelaku industri mebel dan kerajinan saat ini yakni kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP). Hal ini dinilai akan semakin memberatkan industri mebel yang berorientasi ekspor.
Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengatakan kenaikan UMP seharusnya diimbangi dengan melihat kondisi berbagai industri serta dihasilkan dari kesepakatan tiga pihak yaitu buruh, perusahaan yang diwakili asosiasi, dan pemerintah.
‘’Namun karena situasi yang sedang menurun utamanya ekspor, harus cermat berhitung agar tetap kondusif,’’ ujar Sobur.
Sobur mengatakan pasar di industri mebel sedang mengalami tekanan permintaan. Ia memprediksi pertumbuhan industri pada akhir tahun ini masih sedikit dibawah pertumbuhan industri pengolahan secara umum.