JAKARTA — Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengusulkan agar pemerintah segera membuat sekolah khusus bagi calon pengemudi truk. Hal ini dinilai penting untuk meningkatkan keselamatan di jalan raya, mengingat tingginya angka kecelakaan yang melibatkan truk di Indonesia.
"Setiap hari terjadi kecelakaan truk di Indonesia, kecuali saat masa mudik, di mana truk dilarang beroperasi. Kecelakaan truk menduduki peringkat kedua setelah sepeda motor, meskipun jumlah truk jauh lebih sedikit dibandingkan mobil. Tata kelola angkutan logistik di Indonesia masih buruk," ujar Djoko dalam keterangan resminya.
Djoko menilai bahwa aspek keselamatan dalam dunia angkutan logistik Indonesia sering diabaikan. Ia menyoroti fenomena liberalisasi angkutan barang yang sepenuhnya diserahkan ke mekanisme pasar tanpa regulasi yang ketat.
"Di negara maju, mekanisme pasar berjalan, tetapi mereka masih menerapkan norma-norma dan regulasi terkait keselamatan kendaraan serta pelatihan pengemudi yang ketat. Di Indonesia, liberalisasi dilakukan di sisi tarif, sementara standar keselamatan sering diabaikan demi efisiensi biaya," tambah Djoko.
Djoko mengusulkan agar pemerintah mendirikan sekolah khusus bagi pengemudi truk, sebagaimana yang dilakukan untuk pengemudi pesawat terbang dan kereta api. Menurutnya, ini akan menjadi langkah positif untuk meningkatkan kualitas dan keterampilan sopir truk di Indonesia.
"Saat ini, untuk menjadi sopir bus dan truk, seseorang hanya perlu mengikuti pemagangan, mulai dari tugas sederhana seperti memarkir kendaraan hingga mengendarainya dalam jarak terbatas. Proses ini harus segera diubah. Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan dan Polri bisa bekerja sama untuk membentuk Sekolah Mengemudi bagi pengemudi angkutan umum dan logistik," ujar Djoko.
Sekolah khusus ini, menurut Djoko, akan memastikan bahwa semua calon pengemudi kendaraan umum, termasuk truk dan bus, mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang memadai. Ia menyarankan agar setelah adanya sekolah mengemudi ini, setiap calon pengemudi wajib mengikuti pendidikan terlebih dahulu sebelum mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM).
Djoko mengingatkan bahwa sesuai dengan amanah Pasal 77 (ayat 4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, calon pengemudi angkutan umum wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan. "Setelah ada sekolah mengemudi untuk calon pengemudi truk dan bus, maka mereka wajib mengikuti sekolah mengemudi dulu sebelum memperoleh SIM. SIM hanya diberikan kepada mereka yang sudah lulus mengikuti pendidikan mengemudi. Sedangkan bagi pengemudi yang sudah berpengalaman, mereka wajib mengikuti Diklat (pendidikan dan pelatihan) minimal satu minggu untuk memahami aspek keselamatan dan perilaku berlalu lintas yang baik," jelas Djoko.
Djoko juga mengusulkan agar biaya pendidikan ini dibiayai negara, mengingat banyak pengemudi angkutan umum yang tidak memiliki dana untuk mengikuti pelatihan. Selain itu, Djoko mengusulkan agar ada batasan usia dan tingkat pendidikan bagi calon pengemudi. Sebagai contoh, Perda DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi telah menetapkan bahwa calon pengemudi angkutan umum harus berusia minimal 22 tahun dan memiliki pendidikan minimal SMA/SMK.
Djoko menekankan pentingnya standarisasi dalam pelatihan pengemudi truk untuk mengurangi angka kecelakaan yang melibatkan kendaraan besar ini. Dengan pelatihan yang lebih baik, diharapkan pengemudi dapat lebih memahami aspek keselamatan, tanggung jawab di jalan raya, serta aturan berlalu lintas yang baik dan benar.
"Hal ini akan berdampak positif pada keselamatan jalan raya, mengurangi jumlah kecelakaan yang melibatkan truk, dan meningkatkan kualitas pengemudi di Indonesia," tandas Djoko.
Melalui pembentukan sekolah khusus pengemudi truk, pemerintah dapat memastikan bahwa pengemudi kendaraan angkutan umum lebih siap dan terampil dalam menjalankan tugasnya. Kebijakan ini diharapkan dapat menjadi solusi bagi banyaknya kecelakaan truk yang terjadi di Indonesia dan meningkatkan kualitas keselamatan transportasi darat secara keseluruhan.