Jakarta, - Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melarang kegiatan ekspor bauksit pada Juni 2023 sudah final. Larangan ini tidak hanya membuat pusing pembeli utama bauksit, China, tetapi juga pemerintah Indonesia karena berkurangnya ekspor.
Hal ini ditegaskan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif secara tegas menyatakan pemerintah hanya mengizinkan bauksit dijual setelah dilakukan ke dalam pengolahan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri.
Aksi pelarangan ekspor bauksit ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) khususnya yang termaktub dalam Pasal 170 A, di mana disebutkan bahwa batas penjualan mineral ke luar negeri maksimal 3 tahun setelah UU Minerba diterbitkan.
Tujuan pemerintah sudah jelas, bagaimana sumberdaya mineral yang dimiliki oleh Ibu Pertiwi ini bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, dan dapat memberikan nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional.
Maka terkait dengan larangan ini, Presiden Jokowi mengatakan, pelarangan tersebut merupakan bentuk komitmen pemerintah mewujudkan kedaulatan sumber daya alam.
Larangan ekspor komoditas ini tentunya tidak lepas dari efek domino yang mulanya mungkin bisa merugikan para pelaku usaha.
Kebijakan larangan ekspor bauksit berpeluang meningkatkan harga bauksit di pasar global. Ini karena Indonesia merupakan penghasil bauksit terbesar ke-5 di dunia pada tahun 2022.
Berdasarkan data USGS, Australia menjadi produsen bauksit terbesar di dunia mencapai 100 juta metrik ton pada 2022. Adapun, Indonesia total produksi bauksitnya mencapai 21 juta metrik ton.
Di sisi lain, kebijakan tersebut berpeluang menurunkan nilai ekspor Indonesia. Sejak awal tahun hingga saat ini, porsi ekspor bauksit mencapai 3,7% dari total ekspor non-migas.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor bijih bauksit di Indonesia tercatat di angka US$623 juta pada 2022. Angka ini mengalami penurunan 0,82% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yakni sebesar US$628,18 juta.
Volume ekspor bauksit Indonesia sebesar 17,84 juta ton.pada 2022. Jumlah tersebut juga merosot 10,39% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 19,91 juta ton.
China menjadi satu-satunya negara tujuan ekspor bauksit Indonesia. Hal itu masih tidak berubah sejak 2017 lalu. Itu sebabnya, China 'ketar-ketir' jika aturan ini diberlakukan bulan depan.
Bagi Indonesia, pelarangan tersebut sebenernya bisa menjadi pemacu untuk pengembangan hilirisasi bauksit dan menghasilkan produk yang memiliki nilai jual jauh lebih tinggi.
Sebagaimana diketahui, bijih bauksit dapat diolah menjadi chemical grade alumina yang dimanfaatkan untuk industri alumina, kosmetika, farmasi, keramik dan plastic filler.
Kebijakan larangan ekspor bijih bauksit ke luar negeri sejatinya upaya pemerintah Indonesia untuk mendapatkan nilai tambah. Makanya, Presiden Jokowi meminta untuk mengembangkan hilirisasi di dalam negeri.
Hilirisasi terbukti menambah pendapatan negara yang besar. Misalnya saja nikel, pada tahun 2021 pendapatan negara dari hilirisasi nikel melejit menjadi US$ 30 miliar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang hanya US$ 1,1 miliar.
Sebelumnya, pelarangan ekspor ini memang bukan hanya bauksit. Namun, ada 20 komoditas yang ditetapkan Pemerintah Indonesia untuk dilakukan hilirisasi itu, yakni batu bara, nikel, timah, tembaga, besi baja, emas perak, aspal, minyak bumi, gas, sawit, kelapa, karet, buofuel, kayu log, getah pinus, udang, perikanan, kepiting, rumput laut, dan garam.
Menteri Arifin membeberkan alasan kenapa akhirnya hanya komoditas bauksit yang dilarang ekspor. Ia bilang, dari rencana pembangunan 12 smelter bauksit di dalam negeri, setidaknya baru ada 4 smelter yang sudah beroperasi. Sisanya, sebanyak 8 proyek smelter bauksit masih dalam tahap pembangunan.
Bahkan, berdasarkan peninjauan ke 8 proyek smelter tersebut di lapangan, terdapat perbedaan yang sangat signifikan dengan hasil verifikator independen.
Menakar Kesiapan Smelter Bauksit
Per Januari 2023 lalu, dalam catatan CNBC Indonesia Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) membeberkan alasan dibalik belum tuntasnya pembangunan fasilitas pemurnian dan pengolahan (smelter) bauksit di Indonesia.
Hal tersebut ternyata dikarenakan investasi yang begitu besar , namun sulitnya investor yang mau masuk.
APB31 juga menilai bahwa untuk mendirikan satu smelter bauksit diperlukan modal (Capital Expenditure/ Capex) hingga US$ 1,2 miliar atau setara dengan Rp 18,2 triliun (asumsi kurs Rp 15.160 per US$). Sehingga dia menilai, investasi dalam pembuatan smelter ini agak berat.
Adapun hal lain yang dihadapi para pengusaha bauksit adalah ketika sudah sepakat antara investor dan pengusaha untuk membangun smelter di Indonesia, namun tiba-tiba Izin Usaha Pertambangan (IUP) dicabut.
Berdasarkan catatan Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia produksi bijih bauksit di dalam negeri saat ini jumlahnya mencapai 58 juta ton per tahun. Sementara, fasilitas pengolahan Smelter Grade Alumina (SGA) yang ada baru sebatas 2 unit smelter dengan konsumsi bijih bauksit 12 juta ton per tahun.
Artinya masih terdapat selisih 44 juta ton bijih bauksit yang belum terserap. Terutama apabila kebijakan larangan ekspor benar-benar akan diberlakukan mulai Juni 2023.
Artinya, kalau kita hitung hingga saat ini, persiapan pemerintah hanya 4 bulan untuk mempersiapkan hal tersebut. Bagaimanapun perkembangan smelter yang ada tampaknya kebijakan larangan bakal tetap diberlakukan.
Lantas siapkah pemerintah maju dengan aturan ini? Pakai 'sistem kebut semalam' atau tetap berproses memaksimalkan yang ada dulu.
Sejauh ini, Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan dari rencana pembangunan 12 smelter bauksit di dalam negeri, sejauh ini baru ada 4 smelter yang sudah beroperasi. Sisanya, sebanyak 8 proyek smelter bauksit masih dalam tahap pembangunan.
Namun, keseriusan Jokowi mestinya mendorong banyak hal mulai dari mencari investor baik dalam negeri maupun luar negeri, dan sesegera mungkin dapat melakukan progres yang signifikan terkait smelter bauksit ini.
Dikutip dari : CNBC Indonesia