Jakarta - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengumumkan bahwa penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 akan mengalami penundaan. Pengumuman UMP yang semula diharapkan selesai paling lambat pada 21 November 2024, kini dipastikan akan diumumkan paling lambat pada Desember 2024. Hal ini disampaikan langsung oleh perwakilan Kemnaker sebagai bentuk penyesuaian terhadap berbagai masukan dari stakeholder terkait.
Menurut Kemnaker, penundaan ini dilakukan untuk memberikan waktu lebih kepada pemerintah daerah dan dewan pengupahan dalam menyelesaikan pembahasan angka UMP yang adil dan sesuai dengan kebutuhan pekerja serta kondisi perusahaan. "Kami ingin memastikan bahwa penetapan UMP dilakukan secara transparan dan berdasarkan data yang valid, agar dapat mengakomodasi kebutuhan pekerja sekaligus menjaga keberlangsungan usaha," ungkap perwakilan Kemnaker dalam keterangannya.
Kemnaker juga menegaskan bahwa proses ini tetap mengacu pada aturan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan. Meski terjadi penundaan, Kemnaker menjamin proses ini tidak akan mengorbankan kepentingan pekerja maupun pengusaha.
Penundaan ini menuai berbagai tanggapan dari masyarakat. Serikat pekerja menyayangkan langkah ini karena dinilai akan memengaruhi perencanaan keuangan pekerja menjelang tahun baru. Sementara itu, kalangan pengusaha menyambut baik penundaan ini karena memberikan ruang lebih untuk negosiasi yang mempertimbangkan kondisi ekonomi terkini.
Sejumlah pakar menilai, penundaan ini perlu diiringi dengan komunikasi yang baik agar tidak menimbulkan spekulasi di kalangan pekerja. "Jika transparansi dan komunikasi dijaga, keputusan ini bisa dipahami oleh semua pihak," ujar seorang pengamat ketenagakerjaan.
Di sisi lain, Australia mengambil langkah tegas dengan membahas undang-undang baru yang melarang anak-anak di bawah usia 16 tahun menggunakan platform media sosial. Rancangan undang-undang ini mencakup platform seperti TikTok, Instagram, Snapchat, dan media sosial lainnya yang populer di kalangan remaja.
Langkah ini dilakukan untuk melindungi anak-anak dari dampak negatif penggunaan media sosial, seperti cyberbullying, eksploitasi, hingga gangguan kesehatan mental. Pemerintah Australia menyatakan bahwa platform yang melanggar aturan ini akan dikenakan denda besar, mencapai AUD 50 juta atau setara dengan Rp 510 miliar.
Menurut Menteri Komunikasi Australia, undang-undang ini dirancang untuk memberikan lingkungan digital yang lebih aman bagi anak-anak. "Kami ingin memastikan anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang sehat, bebas dari tekanan dan bahaya yang berasal dari dunia maya," katanya.
Pemerintah Australia juga berencana melibatkan orang tua dan sekolah dalam mengawasi penggunaan media sosial di kalangan anak-anak. "Pendekatan ini tidak hanya soal larangan, tetapi juga tentang pendidikan digital untuk keluarga," tambahnya.
Beberapa platform media sosial telah memberikan tanggapan atas wacana ini. Mereka mengaku akan mematuhi peraturan, tetapi juga meminta pemerintah untuk mempertimbangkan langkah-langkah lain yang tidak terlalu membatasi akses anak-anak terhadap teknologi.
Namun, organisasi perlindungan anak di Australia mendukung penuh kebijakan ini. Mereka menilai langkah tersebut sangat penting dalam mengurangi risiko yang dihadapi anak-anak akibat paparan konten negatif di media sosial.
Jika undang-undang ini diterapkan, Australia akan menjadi salah satu negara pertama yang secara tegas membatasi akses anak-anak ke media sosial berdasarkan usia. Hal ini diperkirakan akan memberikan dampak global, mendorong negara lain untuk mempertimbangkan langkah serupa dalam upaya melindungi generasi muda dari pengaruh buruk dunia digital.
Dua isu penting ini, yakni penetapan UMP di Indonesia dan pembahasan larangan media sosial bagi anak di Australia, mencerminkan langkah-langkah strategis pemerintah dalam mengatasi tantangan sosial dan ekonomi di era modern.