Kebijakan pemerintah yang longgar pada penjualan komoditas mineral kritis menekan keberlangsungan investasi di sektor hilir.
Investasi di sisi hilir mineral kritis bakal seret pada jangka menengah dan panjang.
Kebijakan pemerintah yang longgar pada penjualan komoditas mineral kritis justru dinilai menekan keberlangsungan investasi yang ada di sektor hilir.
Tauhid Ahmad selaku Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai negatif manuver pemerintah yang belakangan longgar untuk menjual barang setengah jadi hasil hilirisasi mineral kritis ke pasar Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE).
Tauhid berpendapat keputusan itu bakal mengoreksi komitmen pemerintah melakukan industrialisasi mineral kritis seperti bijih nikel sebagai baterai listrik dalam negeri. Konsekuensinya, kata Tauhid, investasi di sisi hilir mineral kritis bakal seret pada jangka menengah dan panjang.
“Smelter akan berhenti, dia akan banyak produksi bahan baku untuk katoda, industri turunannya seperti baterai sel tidak akan berkembang lagi,” kata Tauhid saat dihubungi, Jumat (30/6/2023).
Lewat beberapa perundingan ihwal fasilitas perjanjian perdagangan bebas terbatas atau limited free trade agreement (FTA), pemerintah belakangan sepakat menjual barang setengah jadi hasil hilirisasi tambang mineral kritis dalam negeri.
Keputusan itu diambil setelah negosiasi limited FTA berjalan alot dengan AS dan UE. Pemerintah menetapkan kualitas hilirisasi mineral itu mesti mencapai 60% sampai 70% diolah dalam negeri.
Di sisi lain, Tauhid mengatakan, keputusan itu bakal memperlemah posisi Indonesia pada rantai pasok baterai dan kendaraan listrik jangka menengah dan panjang.
Seperti diberitakan sebelumnya, Bahlil Lahadalia selakuMenteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengatakan keputusan ekspor barang setengah jadi dengan syarat minimal diolah 60% sampai 70% itu untuk menyiasati kebijakan insentif EBT yang dianggap diskriminatif untuk mineral kritis asal Indonesia, Inflation Reduction Act (IRA) milik AS & Critical Raw Materials Act (CRM) milik UE.
Bahlil mencontohkan keputusan itu diambil pemerintah efektif lewat kerja sama pembangunan pabrik panel surya beberapa waktu lalu yang menggandeng perusahaan asal AS dengan nilai investasi mencapai US$500 juta atau setara dengan Rp7,5 triliun.
Pabrik bakal dibangun di Batang, Jawa Tengah itu mengekspor produk antara dengan kualitas pengolahan di dalam negeri mencapai 60% sampai 70%.
“Ini bagian kita masuk dari komponen IRA, karena mereka juga pingin penciptaan nilai tambah hilirnya itu di sana, itu yang menurut saya kolaborasi jadi jangan mereka ambil bahan baku saja kemudian tanpa proses nilai tambah di negara penghasil bahan baku tersebut,” kata Bahlil saat konferensi pers di Jakarta, Jumat (30/6/2023).
Adapun, IRA memperketat kriteria mineral logam yang menerima insentif kendaraan listrik dialokasikan pemerintah AS selepas 2023. Adapun, undang-undang itu menghimpun dana subsidi US$370 miliar untuk pengembangan teknologi bersih.
Beberapa kriteria itu mewajibkan mineral logam diolah di AS serta bahan baku diperoleh mesti berasal dari sejumlah negara yang telah memiliki perjanjian perdagangan bebas atau FTA dengan pemerintah AS. Dominasi perusahaan China pada industri smelter Indonesia turut menjadi perhatian pemerintah AS.
Sementara itu, CRM mewajibkan pabrik hilir dari turunan mineral kritis seperti sel baterai mesti berdekatan dengan industri mobil listrik di negara anggota Uni Eropa. Kebijakan itu ingin memastikan nilai tambah pengolahan mineral tetap ada di benua biru.
“Negosiasi pemerintah Indonesia dengan IRA masih berjalan, tanpa IRA kita kesampingkan dulu, maka kombinasi yang kami bangun dalam implementasi hilirisasi di Indonesia itu adalah proses industrinya dibangun 70 persen nilai tambahnya di Indonesia sisanya kita kirim ke Amerika,” kata dia.
Di sisi lain, dia mengatakan, belum pastinya Indonesia mendapat fasilitas limited FTA dari AS tidak bakal menganggu rencana investasi konsorsium LG Energy Solution (LG) pada usaha patungan atau joint ventures (JV) Indonesia Battery Corporation (IBC) di Indonesia.