Importir kembali mengeluhkan mahalnya biaya pengembalian eks kontainer impor di sejumlah fasilitas depo empty kontainer yang menjadi pendukung aktivitas importasi di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta.
Pasalnya, keberadaan fasilitas depo empty kontainer eks importasi yang saat ini berada di luar kawasan pabean pelabuhan Tanjung Priok itu sulit dikontrol oleh instansi berwenang sehingga kerap kali mengenakan biaya layanan depo khususnya untuk komponen repair (kerusakan kontainer) yang tidak transparan dan memberatkan pemilik barang impor.
Hal tersebut ditegaskan Ketua Umum BPP Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Capt Subandi, pada Jumat (2/2/2024).
“Biaya-biaya yang ditagihkan oleh Depo Kontainer eks impor itu ‘ugal-ugalan’, meskipun sudah seringkali dipersoalkan namun masih saja terulang. Padahal Menhub sudah pernah menegur praktek biaya depo kontainer yang ugal-ugalan seperti itu karena sangat membebani biaya logistik dan menurunkan daya saing industri nasional serta berimbas pada melemahnya perekonomian nasional,” ujar Capt Subandi.
Dia menyampaikan hal itu, menyusul adanya laporan anggota GINSI yang di kutip biaya repair rata-rata memcapai Rp. 4 juta s/d Rp 5 juta perkontainer di depo kontainer empty eks impor.
“Kami pegang semua datanya akurat, kemarin ada partai empat kontainer eks impor yang hendak dikembalikan (tumpuk) di depo empty, namun semuanya kena biaya repair. Parahnya lagi, importir mesti bayar cash atau transfer ke rekening pribadi petugas lapangan di depo tersebut. Kalau modelnya begini, kan praktek ugal-ugalan ?,” ucap Capt Bandi.
Terhadap persoalan itu, imbuhnya, GINSI segera mengadukan melalui surat resmi kepada Menhub Budi Karya Sumadi, sekaligus ditembuskan kepada tim National Logistic Ecosystem (NLE), serta Stranas PK.
GINSI mendesak supaya praktek bisnis di depo empty kontainer ada instansi terkait dalam hal ini Dinas Perhubungan Provinsi (Dishub) yang secara melekat mengawasinya karena menerbitkan perizinan usaha tersebut, sehingga layanan bisnis itu bisa lebih fairnes mengedepankan aspek kewajaran.
Sebagai contoh, kata Capt Subandi, perusahaan bongkar muat (PBM) di Pelabuhan juga ijin usahanya diterbitkan oleh Dishub, tetapi tarif dan layanannya diawasi oleh kemenhub melalui Otoritas Pelabuhan setempat.
“Bahkan setiap PBM wajib memiliki PMKU (Pemberitahuan Mengenai Kegiatan Usaha) jika perusahaannya akan beroperasi, tanpa PMKU maka PBM tidak boleh menjalankan kegiatan usahanya di Pelabuhan meskipun sudah memiliki ijin usaha (SIUP) yang di keluarkan Dishub,” ungkap Ketum GINSI.