Pelaku usaha trucking di pelabuhan Tanjung Priok mengeluhkan kesemrawutan yang kerap terjadi di fasilitas depo empty peti kemas yang berdampak pada biaya logistik membengkak.
Para pelaku usaha trucking di pelabuhan Tanjung Priok masih mengeluhkan kesemrawutan yang kerap terjadi di fasilitas depo kosong diluar dalam kegiatan pengambilan atau pengembalian peti kemas kosong (kosong).
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan mengatakan, kegaduhan ini menyebabkan trucking harus antre berjam-jam bahkan hingga bahkan satu hari penuh untuk mengembalikan peti kemas eks impor di depo kosong.
“Selain menyebabkan kemacetan di sekitar area depo, kondisi itu juga berimbas pada ritase trucking yang terus menurun. akibatnya biaya logistik membengkak,” ujar Taruhan dalam keterangannya pada Minggu (28/5/2023).
Oleh karena itu, Aptrindo selaku pebisnis disektor transportasi dan logistik mengusulkan agar terjalin sinergi dan kerja sama Pengelola Depo Empty dengan antar depo sehingga truk bisa menyerahkan/mengambil kontainer di depo yang terdekat atau tercepat.
“Langkah ini diharapkan bisa mengurangi kemacetan jalan, memecah antrian serta mempercepat bongkar muat peti kemas,” lanjutnya.
Selain itu, imbuh Gemilang, karena tidak semua peti kemas melalui depo, harus ada aturan tentang depo virtual, sehingga kontainer eximpor/inbound dapat langsung dipakai untuk ekspor/outbound. Aturan ini juga dinilai efektif menghemat bahan bakar dan menekan biaya logistik.
“Hal ini dapat menghemat bahan bakar minyak (BBM) truk, dan mengurangi jumlah lintasan truk di jalan yang pada akhirnya dapat mengurangi biaya logistik,” tegas Gemilang.
Sebelumnya, Ketua Umum BPP Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Capt Subandi mengatakan keberadaan depo kosong sering menimbulkan kemacetan luar biasa di akses keluar masuk Pelabuhan, terutama di Jalan Cakung Cilincing.
“Para sopir truk dan pemilik angkutan pun seringkali mengeluhkan operasional depo tersebut namun hingga kini tidak ada yg bisa menertibkan. Kami mendesak Pemerintah melalui instansi terkait termasuk Kemenhub untuk segera turun tangan,” katanya.
Subandi mengingatkan, jika Pemerintah serius ingin menurunkan biaya logistik nasional maka harus mampu mengendalikan dan mengatur biaya-biaya di luar pelabuhan.
Pilihan ini, menurut Subandi, tidak bisa ditawar lagi karena biaya logistik di luar pelabuhan itulah yang selama ini mencekik.
“Perlu dicatat bahwa sesungguhnya biaya di pelabuhan saat ini relatif lebih baik karena sebelum ditetapkan terlebih dahulu dilakukan kajian, baik oleh konsultan, akademisi maupun praktisi. Namun biaya di luar pelabuhan seperti depo kosong, biaya di agen pengiriman internasional atau agen kargo tidak ada yang meringankan dan tidak terkontrol. Akhirnya, tak jarang pemilik barang merasa terbebani karena cukup banyak agen shipping cargo cargo ekspor impor di Indonesia yang menerapkan biaya diluar kewajaran dan malah malah bermunculan biaya-biaya yang tidak ada layanannya,” ungkap Subandi.
Untuk itu, perlu dilakukan penertiban pada entitas usaha semacam itu. Pemerintah harus mengambil langkah tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang mengutip biaya yang tidak wajar dan tidak ada layanannya.
“Bila perlu, Pemerintah melalui Kementerian terkait (Kemenhub atau BKPM) mengevaluasi izin-izin perusahaan depo kosong seperti itu,” ucap Subandi.
Seperti diketahui, berdasarkan data laporan World Bank, baru-baru ini, Logistik Performace Index (LPI) Indonesia pada 2023 berada di angka 3.0 atau menempati posisi ke 63 di dunia.
Berdasarkan data itu menandakan bahwa Score LPI Indonesia masih berada di bawah Chile, Vietnam maupun Brazil. Bahkan jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Singapura yang menempati urutan skor tertinggi LPI versi Bank Dunia yakni 4.3 dan Hongkong dengan skor 4.0.
Laporan itu juga merinci mengenai Custom Score, Infrastruktur, International Shipments, Logistic Competent & Quality, serta Tracking and Tracing.