Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto mengungkapkan, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) membuat daya tahan bisnis logistik di bawah ekspektasi. Awalnya, kata dia, pengusaha optimistis, industri tetap akan menggeliat dan hanya mengalami sedikit koreksi.
"Dugaan awal ketika diputuskan (kenaikan harga BBM), di minggu pertama kita antisipasi kira-kira berapa daya serap industri terhadap kenaikan BBM yang 30%. Dulu asumsi 10-15% daya serap industri, tapi ternyata malah di bawah itu. Range paling tinggi 12,5% bisa serap. Di bawahnya 7% kenaikan tarif angkutan, jadi daya serap industri 7,5-12,5% terhadap tarif lama," katanya kepada CNBC Indonesia, Rabu (20/9/22).
Beberapa pengusaha di industri logistik pun mulai intens bernegosiasi penyesuaian kenaikan harga BBM ini terhadap pelanggan atau industri masing-masing. Namun, tidak semuanya mampu menerima.
"Alasan industri, mereka sedang berjuang untuk menaikkan pangsa pasar yang hilang akibat pandemi, lalu dihadapi kondisi gini. Jadi ketika sedang ingin naik, dihadapkan gini, jadi khawatir daya beli turun kalau dia nanti terlalu tinggi dan dibebankan kepada konsumen akhir," sebut Mahendra.
Menaikkan harga, tukasnya, bukan opsi saat ini meski harga BBM naik. Sebab, isu daya beli jadi tantangan yang harus dihadapi pengusaha. Namun, lanjut dia, kenaikan harga bukan tak mungkin terjadi.
"Sebetulnya BBM naik 30% ngga linear kenaikan tarif juga naik 25-30%. Komponen BBM terhadap tarif tergantung jarak, nilainya 40-70%. Kalau jarak Jabodetabek, Jabar komposisi BBM terhadap tarif sekitar 40%. Sementara jarak 500 km atau Jakarta sampai Surabaya, Medan udah 70% terhadap tarif," ujar Mahendra.
"Ketika BBM naik 30%, jadi komposisi bahan bakar yang 40% untuk wilayah Jabar itu ditambah 30% dari 40%, sekitar 12% menjadi naik 53%. Ini mendorong naik jadi berapa tarifnya, ngga otomatis langsung naik 30%. Muaranya di pembeli, industri kalau industri ngga mau, gimana? Kita maksa? Ngga juga," lanjutnya.
Di sisi lain, yang perlu menjadi perhatian di dunia industri logistik adalah adanya disrupsi di bidang transportasi dan logistik. Mulai banyak start up atau perusahaan rintisan dengan modal besar yang menjadi ancaman industri logistik yang bertahan lama.
"Melihat opportunity dan lagi bakar uang. Dia tangkap dengan harga rendah untuk meningkatkan volume dia, itu disrupsi di industri ini harus dicermati, kalau terlalu ngotot sementara daya beli sedang rendah, itu bisa diambil start up," ujar Mahendra.