The Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) tetap optimis akan pertumbuhan kinerja industri besi dan baja di tengah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan banjir produk impor.
Purwono Widodo selaku Chairman IISIA sekaligus Direkur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. (KRAS) menyatakan keoptimisannya perihal pertumbuhan industri baja di tahun 2024 mendatang. Hal tersebut di dasari keberlanjutan pembangunan infrastruktur yang masih massive di dalam negeri.
‘’Pertumbuhan industri baja itu dari pertumbuhan ekonomi 5% di tambah sekitar 3-4%.’’ Ujar Purwono, Senin (6/11/2023).
Ia memperkirakan bahwa kebutuhan baja nasional akan terus meningkat bahkan bisa mencapai target hingga 100 juta ton pada 2045. Target tersebut memiliki nilai investasi sebesar 100 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar 1.533 triliun rupiah (kurs 15.547).
Kinerja industri baja di proyeksi akan terus tumbuh secara positif di iringi dengan pesatnya pembangunan infrastruktur termasuk di dalamnya megaproyek IKN yang diperkirakan membutuhkan 9,5 juta ton sampai rampung.
Tidak bisa di pungkiri industri besi dan baja saat ini mengalami berbagai tantangan lainnya yakni banjir produk impor yang memicu kapasitas utilitas produksi baja nasional yakni 54%. Padahal target yang di kejar ada di angka 80%.
IISIA memperkirakan permintaan baja nasional akan tumbuh sekitar 5% (year-on-year/yoy) menjadi 17,9 juta ton hingga Oktober 2023 ini. Namun, produksi dalam negeri saat ini masih belum mencapai permintaan tersebut dan masih berada di angka 14.4 juta ton.
Untuk memenuhi permintaan bahan baku baja tersebut, Purwono mengatakan pelaku usaha masih kelimpungan karena supply chain atau rantai pasok yang terhambat akibat perang Rusia-Ukraina yang hingga saat ini masih berlanjut.
‘’Dulunya kita kalau cari bahan baku untuk industri baja itu dari Ukraina dan Rusia, dua negara itu memasok bahan baku utama atau baja lembaran di internasional. Begitu perang, kita sulit mendapatkannya,’’ Ungkap Purwono.
Selain itu, Purwono juga menjelaskan bagaimana dampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang berdampak untuk jangka pendek pada industri baja. Menurutnya, pelaku usaha memiliki perhitungan sendiri dalam mengantisipasi kondisi tersebut.
‘’Biasanya industri baja di Indonesia itu pakai range dalam menjualnya, range kursnya kalau masih dalam range itu oke lah, artinya mengurangi profit yang tadinya misalnya bisa profit 5% menjadi 2%. Tetapi kalau menjadi minus biasanya kemudian di ubah, dan itupun tergantung model tipenya,’’ Tutur Purwono.
Purwono juga mendorong pemerintah untuk menjaga iklim investasi industri yang telah berlangsung saat ini. Ia bahkan juga mewanti-wanti adanya ancaman industri baja nasional dengan banjirnya produk impor jadi yang berasal dari China.
‘’Yang harus di jaga investasi yang sudah di lakukan itu di lindungi dari unfair trade yang biasanya dari impor yang dumping, tetapi di dalamnya sendiri kita juga repot kalau pemerintah dengan asosiasi tentunya tidak berhasil untuk mengurangi yang non standar,’’ Tutur Purwono.
Ia melihat begitu banyak produk baja yang tidak memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) beredar di pasaran yang akibatnya menurunkan daya saing industri. Untuk itu, Purwono mendukung langkah Kementerian Perindustrian untuk meningkatkan pengawasan standar di pabrik.
Ia berhadap program Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) benar-benar di terapkan dan tingkat persentasenya juga bisa lebih di tingkatkan lagi guna mendukung industri dalam negeri termasuk industri besi dan baja.