Pengamat transportasi sekaligus Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, mendesak pemerintah untuk lebih serius dalam mengawasi operasional angkutan logistik di Indonesia.
Djoko mengungkapkan bahwa kecelakaan yang melibatkan angkutan logistik terjadi hampir setiap hari, bahkan bisa mencapai tujuh kejadian dalam sehari.
“Armada truk menduduki peringkat kedua penyebab kecelakaan lalu lintas, meskipun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kendaraan roda empat. Pengawasan terhadap operasional angkutan barang belum maksimal. Memang ini berdampak pada tarif angkutan barang, tetapi yang paling penting adalah jaminan keselamatan bertransportasi bagi semua warga,” kata Djoko di Jakarta, Rabu.
Menurut Djoko, kecelakaan truk disebabkan oleh rendahnya kompetensi pengemudi dan buruknya perawatan kendaraan. Selain itu, masalah kelebihan muatan dan kegagalan pengereman sering kali menjadi faktor utama.
“Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mencatat bahwa kegagalan pengereman pada kendaraan pengangkut barang sering terjadi karena tidak adanya regulasi wajib untuk perawatan rem sebagai langkah preventif,” jelasnya.
Djoko menyoroti bahwa kesalahan dalam kecelakaan truk logistik sering kali ditimpakan kepada pengemudi, sementara pengusaha angkutan barang dan pemilik barang jarang diperkarakan.
“Jarang sekali pengusaha dan pemilik barang dimintai pertanggungjawaban. Kalau pun ada, itu biasanya setelah ada desakan dari media sosial. Bahkan, kasus jarang sampai ke pengadilan sehingga tidak ada efek jera,” ujarnya.
Djoko mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk memperbaiki sistem operasional angkutan barang.
“Bisnis angkutan truk harus dikelola secara lebih profesional dengan sistem manajemen keselamatan dan hubungan industrial yang optimal. Perekrutan pengemudi juga harus dilakukan dengan benar, mencakup kompetensi, batasan jam kerja, dan pendapatan minimal,” kata Djoko.
Djoko juga mendorong Kementerian Ketenagakerjaan untuk menyusun regulasi terkait upah minimum bagi pengemudi truk. Pendidikan formal untuk pengemudi juga diharapkan dapat menekan angka kecelakaan.
Selain itu, pengaturan jam kerja dan istirahat pengemudi perlu diterapkan secara jelas untuk mengurangi risiko kelelahan yang memicu kecelakaan.
“Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 77 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, yang menyebutkan bahwa calon pengemudi angkutan umum wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan,” tambah Djoko.
Djoko menegaskan bahwa pemerintah harus bertindak secara cerdas dan terencana dalam menangani masalah ini.
“Kalau sudah bertindak cerdas dan terencana tapi kecelakaan tetap terjadi, baru kita bisa menyebut itu nasib. Tetapi jika pembiaran terus terjadi, itu bukan nasib, melainkan kesalahan sistematis,” tegasnya.