Penurunan impor bahan baku yang terjadi saat ini mengindikasikan industri manufaktur yang kian lesu hingga akhir tahun. Ini menjadikan pelaku industri mengerem produksi mereka.
Kinerja industri manufaktur menjelang akhir tahun ini terus menerima sentimen negatif dikarenakan adanya kelesuan pasar domestik maupun global, ditambah pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Penyataan tersebut tidak bersebrangan dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mana mengonfirmasi bahwa kinerja impor bahan baku/penolong per Oktober 2023 mengalami kelesuan di sektor industri manufaktur. Sebagai informasi, total impor bahan baku penolong turun 6,08% (year-on-year/yoy) menjadi 13,44 miliar dolar AS pada Oktober 2023.
Jika dikumulatifkan, maka hingga Oktober 2023 ini total nilai impor bahan baku penolong tercatat 19,32 miliar dolar AS atau turun sebanyak 12,65% bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2022 lalu.
Di saat yang bersamaan, Indeks Kepercayaan Industri (IKI) yang merangkum data dan survei pelaku industri, menunjukkan tren penurunan yang cukup signifikan.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat penurunan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) untuk bulan Oktober 2023 ada di level 50,70 atau melambat 1,81 poin bila dibandingkan dengan September 2023 yang mencapai 52,21.
Tren perlambatan ini diketahui sudah terjadi sejak Juni 2023 dimana saat itu menyentuh level 53,93 yang kemudian turun di bulan Juli dan menyentuh level 53,31 atau turun sekitar 0,60 poin. Selanjutnya pada bulan Agustus level IKI kembali turun 0,09 poin menjadi 53,22 dan kembali melambat 0,71 poin menjadi 52,51 pada bulan September.
Para pelaku industri sendiri mengalami kesulitan untuk bisa keluar dari situasi seperti ini terlebih adanya tekanan lonjakan harga bahan baku impor. Hal ini disampaikan sendiri oleh Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja.
Ia menuturkan bahwa impor bahan baku/penolong turun disebabkan oleh utilitas industri yang melemah. Sebagai informasi, utilitas industri hulu ke hilir dan produk tekstil (TPT) tercatat hanya 50%.
‘’Penurunan impor bahan baku ini juga dampak dari melesunya permintaan TPT baik market dalam negeri maupun ekspor karena ekonomi global yang sedang melambat,’’ ujar Jemmy.
Kendati begitu, Jemmy tetap optimis bahwa pelemahan impor bahan baku ini juga sebagai dampak positif dari dorongan Kementerian Perindustrian untuk industri manufaktur bisa memanfaatkan porsi bahan baku lokal dengan lebih maksimal.
‘’Jadi yang utama bagaimana dapat meningkatkan utilitas industri dengan memanfaatkan market lokal yang ada,’’ tutur Jemmy.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Muhammad Faisal menuturkan bahwa tren IKI masih akan tertekan dalam beberapa bulan ke depan, terutama hingga akhir tahun ini dikarenakan sejumlah faktor.
‘’Ini kita lihat dari banyak faktor, yaitu dari sisi permintaan, impor bahan baku/penolong dan barang modal, inflasi, dan depresiasi nilai tukar,’’ jelas Faisal.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (inaplas) Fajar Budiono juga berpendapat yang sama. Ia menyatakan bahwa impor bahan baku turun karena pasar domestik dan global yang lesu sejak Juni 2023 sehingga menyebabkan belanja modal berkurang.
‘’Kedua, impor barang jadinya naik, masih tinggi. Tetapi di bulan Oktober kemarin ini impor barang jadi turun sedikit karena pasarnya memang sedang lemah,’’ ujar Fajar.
Ia menambahkan saat ini para pelaku usaha lebih memilih untuk wait and see. Mereka tidak berani simpan barang dalam situasi seperti ini.